Kayu Sebagai Kebutuhan Hidup Manusia
Manfaat kayu dalam mencukupi kebutuhan hidup manusia sudah
tak diragukan lagi. Kayu bakar, perlengkapan rumah tangga seperti furniture,
kerajinan, dekorasi, sampai dengan bubur kertas [pulp) sebagai bahan baku pembuatan kertas
semuanya diperoleh dari kayu.
Beberapa model furniture berupa meja, kursi, lemari, tempat
tidur, rak buku, etalase, dan lain-lain yang terbuat dari kayu jati dan agathis
terlihat begitu indah sehingga menggoda selera mereka yang suka gonta-ganti
perabot rumah. Demikian juga dengan
beberapa kerajinan tangan seperti patung, wayang klithik, ukiran, dan hiasan
berupa miniatur mobil-mobilan, kereta api, dan dokar. Kerajinan yang terbuat
dari kayu sengon (Paraserianthes falcataria), mindi (Melia azedarach), dan
sungkai (Peronema canescens) ini banyak diminati oleh para wisatawan
mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnu).
Di samping
kebutuhan akan kayu seperti di atas, kayu juga dibutuhkan untuk keperluan yang
lebih berat lagi antara lain untuk konstruksi. Sudah tidak asing lagi
tiang-tiang dan kerangka rumah terbuat dari kayu. Dulu sewaktu semen masih
begitu langka, dinding-dinding rumah pun kebanyakan dibuat dari kayu. Hal ini
masih sering terlihat di beberapa rumah tua dan rumah-rumah di pedalaman.
Kayu juga
digunakan untuk bantalan rel kereta api. Untuk keperluan ini digunakan jenis
kayu yang tahan terhadap rayap dan mempunyai kelas kuat yang tinggi (kelas
I-II) seperti kayu besi (Eusideroxylon zwagerf). Di Amerika Serikat, kayu
bahkan sudah pernah diujicobakan sebagai bahan bakar mobil.
Dengan adanya perkembangan teknologi perkayuan yang begitu
pesat, setiap potong kayu bisa dimanfaatkan secara maksimal. Log kayu yang dulu
hanya dimanfaatkan dalam bentuk papan-papan gergajian, kini sudah bisa
dimanfaatkan dalam bentuk lembaran. Hasilnya dikenal sebagai plywood yang
berupa triplek maupun polyplex. Demikian juga dengan serbuk gergaji (saw dust}
pada industri penggergajian kayu, saat ini sudah dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan papan
partikel (particle board). Sentuhan-sentuhan teknologi seperti itu mau tak mau
memang harus dilakukan sejalan dengan keharusan efisiensi dan tuntutan
kebutuhan akan keragaman pemanfaatan kayu.
Kebutuhan akan kayu memang semakin tidak terhindarkan lagi
semenjak Tsa I Lun seorang ilmuwan China abad ke-2 M mencoba membuat
kertas dari kulit pohon papyrus. Percobaan tersebut lantas melatarbelakangi
ilmuwan-ilmuwan lain untuk mencoba membuat kertas dari bubur kayu (pu/p) yang
hingga kini masih terus dilakukan. Dengan bermacam-macam teknik pembuatan,
dihasilkan berbagai jenis kertas sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian jika
dikatakan bahwa maju, berkembang, dan terbelakangnya suatu negara dapat dilihat
dari tinggi rendahnya tingkat konsumsi masyarakatnya akan kertas, maka
kebutuhan kertas akan senantiasa meningkat di masa-masa yang mendatang. Hal ini tentu saja dapat diartikan bahwa
kebutuhan kayu pun senantiasa meningkat pula.
Sumber Devisa Nonmigas
Perkembangan harga minyak bumi dunia yang cenderung terus
menurun terutama pada awal 1988 cukup mencemaskan negara kita. Hal ini wajar
karena hampir 50% perolehan devisa Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas
alam (migas).
Dengan semakin menurunnya cadangan minyak bumi maka
peningkatan penerimaan ekspor nonmigas dewasa ini sangat besar relevansinya
bagi perekonomian negara kita.
Sektor kehutanan
merupakan sumber devisa nonmigas yang sangat potensial untuk menopang perolehan
devisa negara. "Emas hijau" ini bila dikelola dengan baik bahkan bisa
menjadi andalan untuk memperoleh devisa.
Pada dasarnya hasil hutan yang kita miliki dapat dipilah
menjadi dua, yakni hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan nonkayu yang sering
disebut juga dengan hasil hutan ikutan. Namun, sudah menjadi kebiasaan umum
bila menyebut hasil hutan maka yang dimaksud adalah kayu.
Kebiasaan ini
kemungkinan disebabkan oleh dua faktor. Yakni:
Faktor pertama,
pada periode 1970-1980 kita pernah mengalami masa-masa berlimpahan kayu atau
sering disebut juga "booming kayu". Akibatnya, kalau orang pergi atau
bekerja di hutan anggapan orang pastilah mencari kayu. Pada masa-masa itu
banyak orang yang kaya mendadak dari hasil kerja di bidang perkayuan. Baru
setelah ekspor kayu log (gelondongan) diberhentikan pada tahun 1985, booming
kayu tersebut perlahan-lahan mulai surut meskipun gaungnya belum hilang hingga
saat ini.
Faktor kedua, perkembangan teknologi perkayuan pasca booming
kayu yang begitu pesat turut mendongkrak pamor kayu dibandingkan dengan hasil
hutan nonkayu. Perkembangan yang begitu pesat membuat masyarakat saat ini
begitu mudah mendapatkan produk-produk yang terbuat dari kayu. Kenyataan ini sangat menggembirakan karena
menunjukkan perkembangan pesat dalam bidang perkayuan. Bagi pemerintah sendiri,
perkembangan pesat ini juga berarti peningkatan penerimaan keuangan negara baik
dari pajak ekspor, dana reboisasi, pajak pertambahan nilai, dan lain-lain.
Untuk industri
penggergajian kayu saja, telah dibangun sebanyak lebih dari ratusan unit dengan
kapasitas total puluhan ribu kubik per tahun. Kapasitas industri sebesar itu
mampumenghasilkan kayu gergajian yang dapat digunakan baik untuk konsumsi dalam
negeri ataupun ekspor. Sementara untuk ekspor kayu gergajian dan kayu
olahan telah menghasilkan devisa yang luar biasa.
Untuk industri-industri lainnya seperti kayu lapis, fiber
board pulp serta kertas, dan lain-lain memang nilainya masih kalah dengan kayu
gergajian dan kayu gelondongan. Meskipun demikian masyarakat perkayuan tetap
optimis. Dengan pengelolaan yang intensif dan berazaskan kelestarian hasil,
tekad untuk menjadikan kayu sebagai andalan devisa negara akan dapat terwujud.