Pemasaran Kayu

Kayu tergolong komoditas yang mudah dipasarkan. Namun, dalam bisnis ini banyak hal yang terlibat. Sebagai komoditas yang cukup vital bagi perekonomian negara maka sistem pemasaran kayu pun memiliki aturan main tersendiri. Belum lagi hubungannya dengan kelangkaan kayu dan kelestarian alam yang membuat pemasaran kayu seperti menjelimet Pengusaha kayu atau yang terlibat dalam bisnis kayu perlu memahami seluk-beluknya.

A. Konsumsi dalam Negeri
Pemasaran kayu untuk konsumsi atau kebutuhan dalam negeri dibedakan menjadi pemasaran lokal, pemasaran antarwilayah, dan pemasaran antarpulau.
Pada pemasaran lokal, biasanya di daerah-daerah tertentu terdapat peraturan daerah (Perda) yang melarang pemasaran kayu keluar dari wilayah daerahnya. Kebijaksanaan tersebut diambil oleh pemerintah daerah (Pemda) dalam rangka memacu peningkatan industri-perkayuan lokal atau strategi untuk dapat

memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya daerah berupa hutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada pemasaran lokal ini, pasokan kayu dipakai untuk memasok industri-industri perkayuan daerah berupa sawmill, moulding, dan industri perkayuan lainnya.

Untuk pemasaran antarwilayah, kayu biasanya dipergunakan untuk bahan baku industri besar seperti industri pulp, kertas, ataupun plywood. Demikian juga dengan pemasaran antarpulau. Pemasaran antarpulau ini banyak dilakukan untuk kayu-kayu yang berasal dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya di luar Jawa.

Baik pemasaran lokal, antarwilayah, atau antarpulau, umumnya diawali suatu kontrak kerja sama antara penjual dengan pembeli mengenai sejumlah kayu tertentu.

Pemasaran dalam Negeri
Pada umumnya jual beli kayu untuk produksi dalam negeri dilakukan oleh pengusaha perkayuan dengan para pedagang perantara baik yang berskala besar, menengah, maupun sedang. Jual beli kayu di Pulau Jawa dilakukan oleh Perum Perhutani dengan cara lelang. Untuk luar Jawa, jual beli dilakukan oleh Pengusaha HPH, Pemegang IPK (PT Inhutani), maupun pemegang ISL (ijin sah lainnya). Umumnya di luar Jawa penjualan kayu dilakukan melalui sistem perjanjian keija sama yang telah disepakati kedua belah pihak.

Untuk pembelian skala kecil, pembeli dapat membeli secara eceran kepada pedagang perantara. Namun, dalam pembelian skala besar misalnya untuk proyek-proyek tertentu, diperlukan surat perjanjian pembelian/penjualan kayu yang berisikan jumlah kubikasi kayu tertentu yang wajib disediakan untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan proyek tersebut.

Berbicara masalah jual beli kayu tidak bisa terlepas dari urusan tata usaha kayu karena kayu dikatakan sah terjual bila disertai dokumen-dokumen yang digariskan dalam tata usaha kayu. Tata usaha kayu ini adalah suatu tatanan atau tata usaha dalam pencatatan, penerbitan dokumen, dan pelaporan; yang meliputi kegiatan perencanaan produksi, eksploitasi, pengolahan, dan peredaran kayu.

Dalam tata usaha ini dikenal istilah-istilah atau singkatan-singkatan yang berkaitan dengan masalah perkayuan. Beberapa istilah dan singkatan tersebut antara lain.

TPN (tempat pengumpulan kayu): adalah tempat untuk mengumpulkan kayu-kayu hasil penebangan di sekitar lokasi tebang yang bersangkutan.

TPK (tempat penimbunan kayu): ialah tempat untuk menimbun kayu yang merupakan penggabungan kayu-kayu dari tempat pengumpulan (TPN).

LHC (laporan hasil cruising: merupakan dokumen yang memuat nomor, jenis pohon, tinggi, diameter, dan volume pohon yang diperoleh dari hasil timber cruising atas areal yang akan ditebang. Timber cruising sendiri adalah kegiatan pencatatan pohon di dalam areal yang akan ditebang.
Pencatatan ini meliputi pohon-pohon yang berdiameter antara 20 cm sampai dengan 50 cm ke atas. Pohon-pohon dengan diameter antara 20 sampai dengan 29 cm diklasifikasikan ke dalam jenis chips. Adapun pohon dengan diameter 30 cm ke atas masuk dalam klasifikasi logs. Untuk kegiatan penebangan kayu dalam rangka pembukaan lahan (land clearing, timber cruising yang dilaksanakan meliputi seluruh areal yang akan dibuka. Dengan kata lain intensitas cruising-nya 100%.
Pemegang HPH, HPHH (hak pengusahaan hasil hutan), dan pemegang IPK (ijin pemanfaatan kayu) wajib melaksanakan timber cruising dan membuat LHC sebelum melaksanakan penebangan atau pemungutan hasil hutan pada blok atau petak tebangan yang telah ditetapkan.

LHP (laporan hasil produksi): dokumen yang memuat nomor batang, jenis, panjang, diameter, dan volume kayu bulat yang diproduksi dari areal tebangan yang telah ditetapkan.

DKB (daftar kayu bulat): dokumen yang memuat nomor dan tanggal LHP, nomor batang, jenis, panjang, diameter, dan volume setiap batang kayu bulat yang diangkut. Merupakan lampiran dari SAKB.

SAKB (surat angkutan kayu bulat): dokumen angkutan kayu bulat dan atau bahan baku serpih (BBS) yang memuat nomor dan tanggal DKB, rekapitulasi jenis, jumlah batang, dan volume/berat kayu bulat dan atau bahan baku serpih yang dibuat berdasarkan dokumen yang sah. SAKB ini merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan. Oleh karenanya masalah ini sering muncul ke permukaan gara-gara adanya pemalsuan ataupun tindakan negatif lainnya. Untuk jenis kayu olahan, dokumen yang sejenis dengan SAKB ini disebut SAKO (surat angkutan kayu olahan). SAKO sama dengan SAKB, hanya SAKO tak mencantumkan jumlah batang melainkan jumlah potongan/ lembar/ keping kayu olahan yang dijual atau dipakai sendiri oleh industri pengolahan kayu hulu (IPKH). SAKO juga merupakan dokumen yang menyatakan sahnya hasil hutan yang bersangkutan.

Penerbitan SAKB dan SAKO diatur secara khusus oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan setelah mendapatkan pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I di propinsi. Pengaturan tersebut dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan.

Penerbitan SAKB dibedakan menjadi 3 macam.
1) Penerbitan SAKB atas kayu bulat/BBS yang langsung dari areal hutan yakni pemegang HPH, IPK, dan ijin sah lainnya (ISL).
2) Penerbitan SAKB atas kayu bulat/BBS selain langsung dari HPH, IPK dan ISL, yaitu TPK antara, TPK IPKH, dan atau pedagang.
3) Penerbitan SAKB kayu limbah pembalakan dan sortimen khusus.
Penerbitan SAKO ada 2 macam.
1) Penerbitan SAKO atas kayu olahan yang berasal dari IPKH.
2) Penerbitan SAKO atas kayu olahan yang berasal selain dari IPKH.

SAKB dan SAKO dinyatakan sah seandainya telah memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
a) Blanko yang dipergunakan adalah blanko DK B 101 yang diadakan oleh direktorat jenderal pengusahaan hutan dicetak di Perum Peruri (lihat contoh blanko)..
b) Pada blanko tidak terdapat perubahan yang berupa tindasan, coretan, atau hapusan.
c) Isi dokumen sesuai dengan fisik kayu/hasil hutan/ kayu olahan yang diangkut.
d) Blanko dibuat oleh penerbit SAKB/ SAKO yang berwenang sesuai dengan ketentuan.
e) SAKB dan SAKO hanya berlaku untuk satu kali pengangkutan dengan satu tempat tujuan.

LMKB (laporan mutasi kayu bulat): dokumen yang memuat jenis, jumlah batang, dan volume kayu bulat dan atau bahan baku serpih yang tersedia serta perubahan-perubahannya di hutan untuk periode 1 bulan. LMKB ini dibuat 4 rangkap. Masing-masing lembar diberikan kepada penjabat pengesah LHR KBKPH, KCDK, dan satu lembar lagi untuk arsip perusahaan.

Dalam menjalankan tata usaha kayu ini perusahaan perkayuan tidak berjalan sendiri. Mereka harus melibatkan instansi-instansi kehutanan di daerah tempat kayu diambil khususnya dalam hal melegalisasi dokumen-dokumen serta administrasi lainnya. Untuk daerah luar Jawa, instansi kehutanan daerah adalah dinas kehutanan daerah tingkat I. Khusus untuk Pulau Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat) instansi kehutanan daerah adalah kantor wilayah departemen kehutanan propinsi yang bersangkutan.
Pelaksanaan tata usaha kayu di Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dilaksanakan oleh kepala kantor wilayah departemen kehutanan yang bersangkutan.

Khusus kayu produksi Perum Perhutani, pelaksanaan tata usaha kayu dibedakan atas lingkup pemasaran wilayah kerjanya. Untuk pemasaran kayu dalam lingkup wilayah kerja Perum Perhutani (di Jawa), penatausahaan kayunya diserahkan sepenuhnya kepada Perum Perhutani. Akan tetapi, untuk pemasaran keluar wilayah Perum Perhutani penatausahaan kayunya dilaksanakan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan tata usaha kayu seperti di luar Pulau Jawa pada umumnya.

Tata Niaga Dalam Negeri
Ada beberapa perusahaan di Indonesia yang berkecimpung dalam bidang perkayuan. Perusahaan tersebut ada yang berbentuk perusahaan umum (Perum), persero, swasta murni, maupun patungan antara BUMN dengan swasta. Perum perhutani di Jawa merupakan contoh yang berbentuk perusahaan Umum. PT Inhutani di luar Jawa merupakan contoh yang berbentuk persero. Kebanyakan HPH merupakan contoh yang berbentuk swasta dan HPHTI merupakan contoh yang berbentuk patungan.

Operasional kerja dan pengawasan perusahaan-perusahaan itu secara keseluruhan di bawah koordinasi Departemen Kehutanan. Perusahaan BUMN selain kepada Departemen Kehutanan juga bertanggungjawab kepada Departemen Keuangan. Dalam hal pemasaran kayu baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor, tata niaganya diatur dan disesuaikan dengan peraturan-peraturan dari Departemen Perdagangan.

Untuk konsumsi dalam negeri, para pengusaha perkayuan umumnya telah menjalin kontrak kerjasama penyediaan bahan baku berupa kayu kepada pemilik industri perkayuan ataupun pedagang kayu besar yang memerlukan suplai kayu secara kontinu. Bagi HPH yang memiliki industri pengolahan kayu sendiri tentu saja kayu yang diperolehnya dijadikan pasokan bagi industrinya.

Dengan adanya ketentuan bahwa pemilik HPH diwajibkan membangun industri pengolahan kayunya sendiri, maka perkembangan bisnis perkayuan dimasa-masa mendatang akan lebih semarak lagi. Apalagi salah satu persyaratan prioritas perpanjangan ijin HPH hanya diberikan kepada pemegang yang memiliki industri pengolahan kayu sendiri, ataupun memiliki keterkaitan dengan industri pengolahan kayu, maka para pemegang HPH pun beramai-ramai berusaha mendirikan industri perkayuan sendiri.

Dengan semakin berkembangnya usaha dalam bidang perhutanan ini maka dibentuklah asosiasi para pengusaha di bidang perhutanan yakni APHI (asosiasi pengusaha hutan Indonesia). Pendirian APHI ini sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah untuk menyukseskan program pembangunan khususnya dalam bidang kehutanan.

Dengan adanya APHI yang merupakan organisasi profesi bidang pengusahaan hutan ini aspirasi dari semua perusahaan terkait dapat tertampung di dalamnya. Demikian pula dengan masalah tata niaga kayu antar-pengusaha HPH, dapat dihindari persaingan tidak sehat khususnya dalam hal penentuan harga jualnya.

Untuk tata niaga kayu dalam negeri terdapat dokumen yang harus selalu menyertai kemana kayu dibawa pergi. Dokumen tersebut adalah SAKB untuk kayu bulat dan SAKO untuk kayu olahan. SAKB dan SAKO merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan dan hanya diberikan atas hasil hutan yang berasal dari penebangan yang sah.

Kayu bulat dan atau bahan baku serpih yang diangkut oleh pemegang HPH, pemegang HPHH, dan pemegang IPK dari tempat pengumpulan kayu atau tempat penimbunan kayu di hutan untuk keperluan industri dan atau penggunaan lain, wajib disertai dokumen SAKB yang dilampiri DKB yang masing-masing dibuat oleh petugas perusahaan yang ditunjuk direksi/pimpinan perusahaan yang bersangkutan.

Untuk kayu-kayu yang masuk ke Pulau Jawa tanpa dilindungi oleh dokumen yang sah, berdasarkan SK Menteri Kehutanan diputuskan bahwa perusahaan pembawa kayu tersebut dikenai sanksi berupa denda dan disertai peringatan tertulis. Penagihan dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala kantor wilayah Departemen Kehutanan. Dan setelah jangka waktu 5 bulan dari hari pelaksanaan operasi pengamanan hutan tersebut dendanya belum juga dipenuhi maka kayu tersebut akan disita dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

1 Ekspor
Kegiatan ekspor boleh dilakukan oleh setiap pengusaha yang telah memiliki surat ijin usaha perdagangan (SIUP) atau setiap pengusaha yang telah mendapatkan ijin usaha dari departemen ataupun lembaga pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan keputusan dari Direktorat Jenderal Departemen Perdagangan Luar Negeri, kayu lapis, venir, blockboard\ kayu gergajian, dan kayu olahan termasuk ke dalam daftar barang-barang yang diatur tata niaga ekspornya. Dengan demikian barang-barang tersebut hanya dapat diekspor oleh eksportir yang telah terdaftar.
Eksportir terdaftar merupakan perusahaan yang telah mendapatkan pengakuan menteri perdagangan untuk mengekspor barang-barang tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pengakuan sebagai eksportir terdaftar tersebut berlaku tanpa batas.
Dalam ekspor kayu komersial ini kayu-kayu chips yang berukuran diameter maksimum 29 cm dan panjang tidak lebih dari 2 m tidak boleh diekspor. Demikian juga kayu gergajian bernilai rendah yakni kayu-kayu yang digergaji membujur, dibelah, atau dikuliti tetapi tidak dikerjakan lebih lanjut dengan ketebalan lebih dari 5 mm dari berbagai jenis dan harga free on board di bawah harga umum juga dilarang diekspor. Pelarangan ini selain dimaksudkan untuk menjaga kelestarian hutan, juga untuk merangsang pertumbuhan industri-industri dalam negeri yang dapat mengolah dan memanfaatkan kayu-kayu tersebut.
Untuk kayu ebony (Dispyros celebica) yang merupakan jenis kayu mewah, sebelum melaksanakan ekspor para pengusaha diwajibkan terlebih dahulu mennyuplai kebutuhan para perajin patung di Bali. Anjuran tersebut diambil untuk mengatasi kekurangan bahan baku bagi para pematung kayu ebony di Bali, sementara eksportir dapat terus melakukan ekspor kayu ebony ke luar negeri.

Sebagai negara penghasil kayu dalam jumlah besar, Indonesia telah lama berkutat dalam tata niaga komoditas yang satu ini. Banyak pihak yang telah lama terlibat dan
memetik hasilnya. Tak heran jika banyak pihak yang berminat memasuki bisnis ini. Bagaimana sesungguhnya gambaran bisnis kayu di Indonesia?

Analisis Penawaran dan Ptermintaan Kayu
Seperti barang-barang ekonomi lainnya, perdagangan kayu juga dipengaruhi oleh mekanisme supply (penawaran) dan demand (permintaan). Permintaan kayu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain harga kayu, harga barang-barang lain sebagai substitusi ataupun pelengkap, pendapatan masyarakat (konsumen), selera masyarakat, pertambahan jumlah penduduk, dan dugaan-dugaan di masa yang akan datang. Penawaran kayu oleh produsen juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga barang itu sendiri, harga barang-barang lain, ongkos produksi untuk memperoleh kayu, tujuan-tujuan dari perusahaan kayu, dan teknologi yang digunakan

Sebagai komoditi yang mempunyai kegunaan sangat banyak dari hari ke hari permintaan akan kayu semakin meningkat. Betapa tidak, mulai dari peralatan dapur, peralatan tulis menulis, konstruksi bangunan, rel kereta api, dan lain-lain memerlukan kayu. Dari kenyataan tersebut meskipun harga kayu semakin meningkat tetapi permintaannya jarang menurun. Hal lain yang menyebabkan naiknya permintaan ini adalah hingga saat ini belum ditemukan barang substitusi yang dapat menggantikan keunikan sifat kayu. Selain itu, karena merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource), daya konsumsi manusia akan kayu tidak pernah surut. Ditambah dengan teknologi pengolahan yang kian hari kian mampu mengefisienkan pemanfaatan kayu juga ikut merangsang meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kayu.

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa bisnis perkayuan adalah bisnis yang menguntungkan. Tercatat beberapa nama besar yang sukses dalam bisnis, awal mulanya berusaha di bidang perkayuan. Semakin berkembangnya teknologi dan meningginya harga pasaran kayu baik log maupun olahan membuat usaha ini kian menarik digeluti.
Sebagai pemilik HPH, keuntungan finansial yang diperoleh tentu tidak diragukan lagi. Akan tetapi untuk menjadi pemilik suatu HPH diperlukan dukungan dana tidak sedikit. Oleh karenanya HPH hanya dimiliki oleh orang-orang yang benar-benar kuat permodalannya. Hal ini disebabkan kegiatan eksploitasi hutan tergolong ekonomi biaya tinggi karena melibatkan penggunaan alat-alat berat yang tidak sedikit dalam operasionalnya. Belum lagi ketentuan yang mewajibkan para pemilik HPH membangun industri sendiri. Selain itu pemilik HPH berkewajiban melakukan penanaman kembali agar kelestarian hutan dapat terjaga. Tentu saja hal ini pun memerlukan investasi yang tidak sedikit.

Dalam buku ini diberikan gambaran keuntungan pemilik badan usaha berupa perseroan terbatas (PT), comanditer vennotscaaft (CV), ataupun koperasi unit desa (KUD) yang ingin bekerjasama dengan PT Inhutani (sebagai pemegang IPK) untuk mengelola ijin pemanfaatan kayu bagi areal-areal yang akan dikonversi menjadi areal perkebunan, transmigrasi, pertambangan, usaha pertanian, maupun untuk perluasan kota.

Beberapa pos biaya dan penghasilan dalam kerja sama ini dapat diperhitungkan sebagai berikut.
1.         Biaya
a)         Pengurusan kelengkapan persyaratan sampai dengan keluarnya SK IPK
b)         Operasional pemanfaatan kayu
c)         Hasil bagi usaha dengan pemegang IPK
d)         Greading Fee (biaya atas pengukuran kayu)
e)         Biaya penjualan dan pemasaran
f)          Biaya lain-lain
2.         Pendapatan
a)         Hasil penjualan kayu
b)         Hasil hutan nonkayu lainnya

Dalam hal pengurusan IPK, berdasarkan pengalaman penulis selama ini apabila syarat persuratannya sudah lengkap maka biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Biaya ini untuk keperluan orientasi lapangan, survey potensi dan tata batas, checking survey oleh dinas kehutanan, pengurusan rekomendasi ke dinas kehutanan, hingga keluarnya SK IPK dari kantor wilayah Departemen Kehutanan. Untuk biaya-biaya tersebut, kita sebagai mitra kerja hanya mengeluarkan biaya survey potensi dan tata batas saja.

Posting Komentar

  © Pasar Agro Online Indonesia by Agrosukses.com 2016

Back to TOP